Qanun Lingkungan Hidup Perlu Dikaji Lagi
Firman Hidayat | The Globe Journal | Jum`at, 12 Agustus 2011
Banda Aceh — Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), M. Riza Damanik ketika menyampaikan paparannya tentang beberapa kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) menyinggung perlu dilakukan pengkajian yang lebih mendalam lagi terhadap qanun-qanun tentang lingkungan hidup di provinsi ujung Pulau Sumatera ini.
Hal tersebut dikatakannya pada acara buka puasa bersama organisasi masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup di Restaurant Lamnyong, Banda Aceh, Jum'at (12/8) yang digagas oleh Walhi Aceh dengan lembaga KIARA dari Jakarta.
M. Riza melanjutkan di Provinsi Aceh ada Qanun Lingkungan Hidup sebagai regulasi yang kuat. Namun qanun tersebut hendaknya dikaji lagi secara mendalam apakah sangat berpeluang untuk dipromosikan kepada sektor swasta atau pengelolaannya menjadi hak rakyat. Hal ini perlu ditinjau lagi sehingga sektor swasta tidak punya ruang untuk masuk mengelola SDA di Aceh ini.
Hal tersebut sebagaimana yang pernah KIARA lakukan di Jakarta terkait pengajuan uji materi terhadap Undang — Undang No 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ke Mahkamah Konstitusi. Asumsinya dengan hadirnya undang-undang itu, pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat berjalan ke arah maksimal.
Namun kenyataanya UU No 27 tahun 2007 itu telah menekan aspek investasi yang lebih mementingkan sektor swasta daripada rakyat dan masyarakat adat dalam pengusulan rencana pengelolaanya. Artinya Hak Pengusahaan Perairan Pesisir merupakan instrument sertifikasi yang melegalkan kegiatan budidaya, pariwisata dan pertambangan kepada sektor swasta termasuk asing. "Akhirnya gugatan KIARA bersama organisasi masyarakat sipil tersebut dimenangkan oleh MK," pungkas Riza Damanik.
Sebenarnya ada persoalan yang mendasar terhadap regulasi pemanfaatan SDA. M. Riza Damanik menghimbau agar regulasi atau kebijakan-kebijakan pemerintah itu mesti dikaji lagi oleh organisasi masyarakat untuk seyogyanya bisa mengakomodir kepentingan yang lebih banyak bagi rakyat dan masyarakat adatnya.
Walhi Aceh mencatat sebanyak 624 kali berbagai bencana terjadi di Aceh sepanjang 2010. Sebanyak 250 diantaranya merupakan bencana banjir yang terjadi karena kerusakan ekologis akibat ulah manusia, seperti konvensi hutan maupun eksploitasi yang tidak ramah lingkungan. Konversi lahan menjadi pertambangan maupun perkebunan telah menggerus setidaknya 540.839 ribu hektar dari total 3,549 juta hektar luas hutan Aceh hingga 2010.
------------------------------------------------------
Keanekaragaman budaya Indonesia dari satu sisi adalah kekayaan, tetapi dari sisi lain adalah kerawanan. Sebagai kekayaan, keanekaragaman budaya dapat menjadi sumber pengembangan budaya hibrida yang kaya dan tangguh, melalui penyuburan silang budaya. Sebagai kerawanan, keanekaragaman budaya melemahkan kohesi antar suku dan pulau.
Berbagi informasi adalah hal terpenting dalam bermasyarakat. Terlebih bagi nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dan masyarakat luas yang tinggal di belahan bumi lainnya.
Kunjungi situs web KIARA di http://www.kiara.or.id. Pastikan Anda adalah orang yang pertama kali mengetahui perkembangan informasi kelautan dan perikanan nasional. ----------------------------------------------------
Mida Saragih
Divisi Manajemen Pengetahuan KIARA
Sekretariat Nasional Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan
The People's Coalition for Fisheries Justice
Jl. Lengkeng Blok J-5
Perumahan Kalibata Indah
Jakarta 12750
Indonesia
Telp. +62 21 798 9522
Faks. +62 21 798 9543
No comments:
Post a Comment